Homeschooling, Alternatif Pendidikan Sesuai Visi Keluarga

anak-anak-belajar-dengan-konsep-homeschooling-di-rumahnya-di-bandar_200728235133-183

Farizal (35) dan Rifkah Dewi (34) tak terdampak dengan ditiadakannya kegiatan belajar mengajar (KBM) di sekolah secara tatap muka lantaran pandemi Covid-19. Sebab, sejak 2018 pasangan suami-istri yang menetap di Bandar Lampung itu memang tak lagi menitipkan anak-anaknya di sekolah. Mereka berdua mengajar anak-anaknya secara mandiri melalui metode homeschooling (HS).

Selama pandemi Covid-19, proses belajar empat anaknya tak banyak terganggu. Fathya (9), Fayiz (6), Fabian (4), dan Fatimah (2), tetap berkegiatan seperti biasa di rumah, seperti masa sebelum pandemi terjadi. Tak banyak perbedaan yang terjadi.

Namun, sejak terjadinya pandemi Covid-19 banyak orang tua yang bertanya kepada mereka mengenai metode yang digunakan. Bahkan, orang-orang yang sebelumnya memberi stigma ke anak-anak mereka karena tak sekolah seperti anak-anak lainnya di sekolah, justru berbalik ingin mendalami HS.

“Banyak dosen atau dokter konsultasi mengenai HS. Mareka tak mau anak-anaknya kembali sekolah saat pandemi masih terjadi, karena mereka tahu betul bahaya Covid-19. Yang dulunya memberi stigma, beralih minta belajar. Jadi terbalik,” kata Dewi.

Menurut dia, masa pandemi Covid-19 seharusnya dapat menjadi momen orang tua kembali bertanggung jawab mendidik anak-anaknya. Sebab, pada dasarnya tugas orang tua adalah mendidik anak-anaknya, bukan justru menyerahkan sepenuhnya ke institusi pendidikan seperti sekolah. 

Apalagi, menurut dia, jika dilihat tujuan pendidikan secara konstitusi adalah untuk membentuk generasi yang beriman dan berakhlak mulia. Namun sekolah saat ini sudah melenceng dari tujuan itu. Bahkan, mengkhianati tujuan konstitusi pendidikan. “Praktik di sekolah, anak-anak ditekan mengejar nilai akademik. Sementara tujuan esensinya tak tercapai,” kata dia.

Dewi merasa sekolah justru menjadi pusat penyakit sosial. Misalnya, anak-anak menjadi buruk adab dan perilaku karena lingkungan sosialnya. 

Ia mendapatkan pandangan itu bukan sekadar dari perkataan orang-orang, melainkan dari pengalaman pribadinya mengajar di sekolah. Setelah mengamati langsung proses mendidik di sekolah, akhirnya Dewi bersama suaminya mulai mencari alternatif pendidikan lainnya dengan konsep HS.

Farizal menjelaskan, banyak sebab mereka memulai mendidik anak-anaknya secara mandiri. Pertama, ia menyebut, pendidikan arus utama (mainstream) hanya terpaku pada angka. Namun, esensi yang seharusnya diajarkan, malah tidak diajarkan.

Ia mencontohkan, siswa sekolah dituntut harus mendapat nilai bagus untuk seluruh mata pelajaran. Padahal anak itu tidak mesti harus bisa semua bidang. “Dalam kehidupan juga tidak dipakai semua. Tergantung mereka,” kata lelaki yang berprofesi sebagai aparatur sipil negara (ASN) itu.

Tak hanya itu, alasan lain yang mendasari mereka berdua berani mendidik anak-anaknya secara mandiri adalah, pembelajaran agama di sekolah tak sesuai yang diharapkan. Karenanya, mereka inisiatif untuk HS.

Dewi menjelaskan, dalam memulai HS, hal pertama yang harus dipikirkan adalah menentukan visi pendidikan keluarga. Misalnya, jika orang tua ingin anak-anaknnya baik secara akhlak, pembelajaran itulah yang harus dijadikan fondasi pembelajaran. 

Ihwal kurikulum, menurut dia, hal itu bisa didapatkan dari banyak sumber, baik yang berskala lokal, nasional, internasional, atau mengombinasikan kurikulum yang ada. Kurikulum pembelajaran HS bisa didapatkan secara bebas atau dibeli dari lembaga pendidikan.

Dewi mencontohkan, dalam HS terdapat sistem yang dinamai sekolah payung. Artinya, dalam memberikan materi, orang tua dapat menggunakan kurikulum sekolah reguler tapi belajarnya di rumah. Namun, ia tak menggunakan sistem itu. Dewi dan Farizal lebih memilih menggunakan sistem pusat kegiatan belajar mandiri (PKBM) dan lebih mengembangkan potensi anak.

Farizal menjelaskan, jam belajar anak juga disesuaikan. Misalnnya, untuk pelajaran wajib seperti belajar Alquran, dilakukan ketika kondisi anak masih segar, yaitu setelah shalat Subuh. Setelah itu, pada pagi hari akan dilakukan olahraga, siang pelajaran umum, Zuhur istirahat, Ahsar mengulang pelajaran dan bermain, Magrib mengaji, dan setelah Isya anak-anak harus tidur.

Ia mencontohkan, ketika anak ingin menjadi wartawan, orang tua harus fokus memberikan pendidikan ilmu jurnalistik. Namun, terkadang cita-cita anak belum terlalu nampak ketika masih berusia sekolah dasar. Ia juga juga belum mau mengarahkan. Karena itu, saat ini materi pelajaran yang diberikan baru sekadar membuat fondasinya, yaitu menguatkan iman, adab, dan Alquran, serta tentu dengan pelajaran umum lainnya.

Sementara untuk legalitas ijazah anak-anaknya, anak dapat mengikuti ujian di tempat tertentu ketika waktunya tiba. “Ujian itu kan hanya pelajaran tertentu untuk mendapat ijazah. Mengatasinya, enam bulan sebelum ujian kita berikan materi itu ke anak. Bisa ditambah bimbel. Namun itu hanya saat mau ujian,” kata dia.

Farizal mengaku belum memiliki rencana pasti sampai kapan anak-anaknya akan HS. Sementara, ia menyusun rencana hingga anak berusia sekolah menengah pertama (SMP). Setidaknya, anak-anaknya harus memiliki fondasi yang kuat. Baru setelah itu, kemungkinan, anak-anaknya akan dimasukan ke pesantren.

“Rencana sementara, kita HS sampai usia SD. Kalau sudah kuat dasarnya kita lepas ke pesantren atau di mana. Belum kepikiran untuk sekolah umum kalau sistem pendidikannya belum berubah. Pesantren juga kita survei dulu, tak sembarangan. Sementara gambaran baru Gontor,” kata dia.

Dewi menambahkan, salah satu keuntungan menerapkan HS pada anak adalah dapat langsung praktik. Setiap tempat di rumah, kata dia, bisa dijadikan laboratoriun. Artinya, orang tua  bisa ekplorasi.

“Kelebihannya, kita belajar langsung di dunua nyata. Dari sisi sosial juga bisa langsung tahu cara bertetangga, berhubungan dengan orang lain. Anak-anak pun bisa mengenal diri sendiri dan peran sosialnya,” kata dia.

Menurut dia, yang paling utama untuk memulai HS adalah mental orang tua. Ketika mental orang tua telah siap, termasuk mental menghadapi stigma HS, mereka pasti bisa mendidik anak-anaknya.

Dewi menilai, pekerjaan orang tua juga tak akan menjadi masalah jika sudah memiliki mental yang kuat. Misalnya, jika kedua orang tua bekerja, HS tetap bisa dilakukan asalkan pengengaturan jadwal harian tersusun rapih.

“Bisa anak dengan neneknya saat orang tua kerja dan diberi tugas. Ketika orang tua pulang, belajarnya bisa dimulai lagi. Jadi fleksibel,” kata dia.

Namun, ia mengingatkan, orang tua juga harus jujur dengan kemampuannya. Ketika ada bidang yang tak dikuasai, orang tua harus bisa buka kerja sama, seperti mengundang guru privat. Agar pencapaian anak juga maksimal.

Ia menilai, biaya yang dikeluarkan dalam penerapan HS juga relatif. Semua tergantung orang tua, bahkan bisa tanpa biaya. “Soalnya kita belajar dari yang ada di sekitar. Semua yang ada di rumah menjadi laboratorium pembelajaran,” kata dia.

Menurut Dewi, penerapan HS yang dilakukukan sejak beberapa tahun belakangan telah sesuai dengan harapannya. Secara kasatmata, kata dia, anak-anak mereka telah memiliki adab dan perilaku yang lebih dibandingkan anak seusianya. Hal itu menjadi poin plus untuk orang yang melihatnya.

Selain itu, menurut dia, penerapan HS juga merupakan bentuk upaya kembali menunaikan kewajiban orang tua. Sebab dalam Islam, kata dia, orang tua memiliki kewajiban mendidik anak-anaknya. Namun karena banyak yang terlanjur nyaman dengan institusi pendidikan, orang tua lupa dengan tugas itu. 

“Banyak yang hanya menyerahkan ke sekolah dan memandulkan fungsi orang tua. Orang tua jadi lupa, dia adalah pendidik anak-anaknya. Bukan guru atau sekolah. Kita sedang lupa dengan tugas utama. Kalau kata ustaz, saat kita menjadi orang tua, Allah memampukan kita menjadi guru. Caranya ya belajar,” kata dia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Open chat
Powered by Joinchat
Hello, Homeschooling Talenta is here..
What do you want to know about this school ?